Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau
hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu
sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Pembagian Hukum privat (sipil) ke dalam
Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asas, tetapi
pembagian sejarah dari Hukum Dagang.
Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat
asasi, dapat kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalm pasal 1 KUHD yang
menyatakan: "Bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam
penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian
soal-soal yang semata-mata diadaka oleh KUHD itu.”
Kenyataan-kenyataan lain yang
membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
1. 1. Perjanjian
jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan
tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
2. 2. Perjanjian
pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdatan
ditetapkan dalam KUHD.
Adapun perkembangan Hukum Dagang
sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira tahun 1000
sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan
terjadinya kota-kota Eropa Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan
telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genua, Florence, Vennetia,
Marseille, Barcelona dan lain-lain).[2]
Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis)
ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di
bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat disusun
peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum Romawi yang
berlaku.
Hukum yang baru ini berlaku bagi
golongan pedagang dan disebut "Hukum Pedagang" (Koopmansrecht).
Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mengadakan
pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang
perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini pada mulanya belum
merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena
berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum
pedagangan sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian
disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan
perlu adanya kesatua hukum diantara hukum pedagang ini.
Oleh karena itu di Perancis pada abad ke
17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang; Menteri Keuangan dari Raja
Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan "Ordonance Du
Commerce" (1673). Dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de la Marine.[3]
Peraturan ini mengatur hukum pedagang
ini sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance Du
Commerce ini pada tahun 1681 disusul degan peraturan lain yaitu "Ordonansi
De La Marine" yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk
pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada tahun 1807 di Perancis di samping
adanya "Code Civil Des Francais" yang mengatur Hukum Perdata
Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab undang-undang Hukum Dagang tersendiri
yakni "Code De Commerce".
Dengan demikian pada tahun 1807 di
Perancis terdapat hukum dagang yang dikodifikasikan dalam Code De Commerce yang
dipisahkan dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code De
Commerce ini membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang
perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun Code
De Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance de Commerce (1673) dan Ordonance
de La Marine (1671) tersebut. Kemudian kodifikasi-kodifikasi Hukum Perancis
tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga di
Netherland pada tahun 1838.
Atas perintah Napoleon, hukum yang
berlaku bagi pedagang dibukukan dalam sebuah buku Code De Commerce (tahun
1807). Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni Code Civil dan Code
Penal. Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di Belanda dan akhirnya dibawa ke
Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code De Commerce (Hukum Dagang) berlaku
di Negeri Belanda.[4]
Dalam pada itu Pemerintah Netherland
menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah
KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi
pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dibidang
perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di pengadilan
biasa.
Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian
disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas
konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini
kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada
hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang
mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau
terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Pada akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff
merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan Buku III
dari KUHD Nederland. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil dijadikan
Undang-Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).
Dan berdasarkan asas Konkordansi pula,
perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Pada tahun 1906
itulah Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang
berdiri sendiri (di luar KUHD); sehingga semenjak tahun 1906 KUHD Indonesia
hanya terdiri atas dua Kitab saja, yakni: "Tentang Dagang Umumnya"
dan Kitab II berjudul "Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Tertib
dari Pelayaran".
Karena asas konkordansi juga maka pada 1 Mei 1948
di Indonesia diadakan KUHS. Adapun KUHS Indonesia ini berasal dari KUHS
Nederland yang dikodifikasikan pada 5 Juli 1830 dan mulai berlaku di Nederland
pada 31 Desember 1830. KUHS Belanda ini berasal dari KUHD Perancis (Code Civil)
dan Code Civil ini bersumber pula pada kodifikasi Hukum Romawi “Corpus Iuris
Civilis” dari Kaisar Justinianus (527-565) (C.S.T. Kansil, 1985 : 10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar